Lompat ke isi

Sejarah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari History)
Historia oleh Nikolaos Gysis (1892).

Sejarah adalah studi yang sistematis mengenai masa lalu, dengan fokus utama pada masa lalu umat manusia. Sebagai sebuah disiplin ilmu, sejarah menganalisis dan menafsirkan bukti untuk menyusun narasi mengenai suatu peristiwa dan menjelaskan penyebabnya. Sebagian ahli teori menggolongkan sejarah sebagai ilmu sosial, sementara yang lain melihatnya sebagai bagian dari ilmu humaniora atau menganggapnya sebagai disiplin hibrida. Perdebatan serupa juga terjadi mengenai tujuan sejarah, misalnya, apakah tujuan utamanya bersifat teoretis untuk mengungkap kebenaran, atau praktis untuk mengambil pelajaran dari masa lalu. Dalam pengertian yang lebih umum, istilah sejarah tidak hanya merujuk pada bidang akademis, tetapi juga pada masa lalu itu sendiri, peristiwa di masa lampau, atau naskah-naskah individual tentang masa lalu.

Penelitian sejarah bergantung pada sumber primer dan sekunder untuk merekonstruksi peristiwa masa lalu dan memvalidasi interpretasi. Kritik sumber digunakan untuk mengevaluasi sumber-sumber tersebut, dengan menilai keaslian, konten, dan reliabilitasnya. Sejarawan berupaya mengintegrasikan berbagai sudut pandang dari beberapa sumber untuk menyusun sebuah narasi yang koheren. Berbagai aliran pemikiran, seperti positivisme, Mazhab Annales, Marxisme, dan pascamodernisme, memiliki pendekatan metodologis yang berbeda-beda.

Sejarah merupakan disiplin ilmu yang luas dan mencakup banyak cabang. Sebagian cabang berfokus pada periode waktu tertentu, seperti sejarah kuno, sementara yang lain berkonsentrasi pada wilayah geografis khusus, seperti sejarah Afrika. Pengelompokan secara tematik meliputi sejarah politik, sejarah militer, sejarah sosial, dan sejarah ekonomi. Cabang-cabang yang terkait dengan metode penelitian dan sumber tertentu mencakup sejarah kuantitatif, sejarah komparatif, dan sejarah lisan.

Sejarah muncul pada zaman kuno sebagai bidang penyelidikan yang bertujuan menggantikan narasi-narasi sarat mitos, dengan tradisi awal yang berpengaruh berasal dari Yunani, Tiongkok, dan kemudian, dunia Islam. Penulisan sejarah berevolusi dari masa ke masa dan menjadi semakin profesional, terutama selama abad ke-19, saat metodologi yang ketat dan berbagai institusi akademis mulai mapan. Sejarah berkaitan dengan banyak bidang lain, termasuk historiografi, filsafat, pendidikan, dan politik.

Sebagai disiplin ilmu, sejarah adalah studi tentang masa lalu yang berfokus pada masa lalu manusia.[1] Disiplin ini mengonseptualisasikan dan mendeskripsikan suatu peristiwa dengan cara mengumpulkan dan menganalisis bukti untuk menyusun narasi. Narasi ini tidak hanya mencakup bagaimana peristiwa berkembang dari waktu ke waktu, tetapi juga mengapa peristiwa itu terjadi dan dalam konteks apa, sehingga memberikan penjelasan mengenai kondisi latar belakang dan mekanisme sebab-akibat yang relevan. Lebih lanjut, sejarah juga mengkaji makna dari peristiwa-peristiwa bersejarah dan motif-motif tersembunyi manusia yang mendorongnya.[2]

Dalam pengertian yang sedikit berbeda, sejarah merujuk pada peristiwa masa lalu itu sendiri. Berdasarkan penafsiran ini, sejarah adalah apa yang telah terjadi, bukan bidang akademis yang mempelajarinya. Ketika digunakan sebagai kata benda yang dapat dihitung, sebuah sejarah (dalam bentuk tunggal) adalah representasi masa lalu dalam bentuk naskah sejarah. Naskah-naskah sejarah merupakan produk budaya yang melibatkan penafsiran dan rekonstruksi aktif. Narasi yang disajikan di dalamnya dapat berubah seiring penemuan bukti baru oleh sejarawan atau saat mereka menafsirkan ulang sumber-sumber yang sudah ada. Sebaliknya, masa lalu itu sendiri bersifat statis dan tidak dapat diubah.[3] Beberapa sejarawan menekankan aspek interpretatif dan eksplanatif untuk membedakan sejarah (sebagai kajian mendalam) dari kronik, dengan alasan bahwa kronik hanya mendaftar peristiwa secara kronologis, sedangkan sejarah bertujuan untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai penyebab, konteks, dan konsekuensinya.[4][a]

Secara historis, perhatian utama sejarah adalah pada dokumen tertulis. Fokusnya adalah pada sejarah yang tercatat sejak penemuan tulisan, sementara prasejarah[b] diserahkan pada bidang lain, seperti arkeologi.[7] Cakupannya meluas pada abad ke-20 ketika para sejarawan mulai tertarik pada masa lalu manusia sebelum ditemukannya tulisan.[8][c]

Para sejarawan memperdebatkan apakah sejarah termasuk ilmu sosial atau bagian dari humaniora. Seperti ilmuwan sosial, sejarawan merumuskan hipotesis, mengumpulkan bukti objektif, dan menyajikan argumen berdasarkan bukti tersebut. Pada saat yang sama, sejarah sangat dekat dengan humaniora karena ketergantungannya pada aspek-aspek subjektif yang terkait dengan interpretasi, penceritaan (storytelling), pengalaman manusia, dan warisan budaya.[10] Beberapa sejarawan sangat mendukung salah satu klasifikasi tersebut, sementara yang lain menggolongkan sejarah sebagai disiplin hibrida yang tidak secara eksklusif termasuk dalam satu kategori saja.[11] Sejarah berbeda dengan pseudosejarah (sejarah semu), sebuah label yang digunakan untuk menggambarkan praktik-praktik yang menyimpang dari standar historiografi dengan mengandalkan bukti sejarah yang diperdebatkan, secara selektif mengabaikan bukti yang sahih, atau menggunakan cara lain untuk memutarbalikkan catatan sejarah. Praktik pseudosejarah, yang sering kali didorong oleh agenda ideologis tertentu, meniru metodologi sejarah untuk mempromosikan narasi yang bias dan menyesatkan, yang tidak memiliki analisis ketat dan konsensus keilmuan.[12]

Etimologi

[sunting | sunting sumber]
Lukisan dengan judul History atau Sejarah oleh Frederick Dielman (1896)

Kata sejarah secara harafiah berasal dari kata Arab (شجرة, šajaratun) yang artinya pohon. Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh (تاريخ). Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau penanggalan. Kata sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu ἱστορία historia yang berarti ilmu atau orang pandai. Istilah history masuk dalam bahasa Inggris pada tahun 1390 dengan makna "hubungan kejadian atau cerita", sedangkan kata sifat historical dibuktikan dari tahun 1661, dan historic dari tahun 1669.[13] Pergeseran makna menjadi "catatan peristiwa masa lalu" dalam bahasa Inggris muncul pada akhir abad ke-15.[14][15][16] Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah dalam bahasa Prancis histoire, bahasa Jerman Geschichte dan bahasa Belanda gescheiedenis yang berarti sudah terjadi yang mana kata yang sama masih digunakan untuk pemakaian kata "sejarah" dan "cerita".[17][18] Saat itu masih dalam arti Yunani yang pada saat itu juga Francis Bacon menggunakan istilah tersebut pada akhir abad ke-16, ketika ia menulis tentang "Sejarah Alam". baginya, historia adalah "pengetahuan tentang objek yang ditentukan oleh ruang dan waktu", sehingga jenis pengetahuan disediakan oleh Ingatan (sementara Ilmu disediakan oleh akal, dan puisi disediakan oleh fantasi). Dalam sebuah ekspresi linguistik sintetik vs. analitik / isolasi dikotomi, (史 vs. 诌) sekarang menunjuk kata yang berbeda untuk sejarah manusia atau bercerita secara umum. Tilikan pada makna secara kebahasaan dari berbagai bahasa di atas dapat ditegaskan bahwa pengertian sejarah menyangkut dengan waktu dan peristiwa. Oleh karena itu, masalah waktu penting dalam memahami satu peristiwa, maka para sejarawan cenderung mengatasi masalah ini dengan membuat periodisasi. Historian dalam pengartian sebuah "peneliti sejarah" dibuktikan dari tahun 1531. dalam semua bahasa Eropa, "sejarah" masih digunakan untuk pemakaian kata "apa yang terjadi dengan manusia", dan "studi ilmiah yang terjadi", arti yang terakhir kadang-kadang dibedakan dengan huruf kapital, "Sejarah", atau kata historiografi.[19]

Berbagai pendapat tentang tujuan sejarah telah diajukan. Beberapa sejarawan mengusulkan bahwa fungsi utamanya adalah penemuan kebenaran murni tentang masa lalu. Pandangan ini menekankan bahwa pencarian kebenaran tanpa pamrih merupakan tujuan itu sendiri, sementara tujuan eksternal, yang terkait dengan ideologi atau politik, mengancam untuk merusak keakuratan penelitian sejarah dengan mendistorsi masa lalu. Dalam peran ini, sejarah juga menantang mitos tradisional yang tidak memiliki dukungan fakta.[18][20]

Perspektif lain menyatakan bahwa nilai utama sejarah terletak pada pelajaran yang diajarkannya untuk masa kini. Pandangan ini didasarkan pada gagasan bahwa pemahaman tentang masa lalu dapat memandu pengambilan keputusan, misalnya, untuk menghindari pengulangan kesalahan sebelumnya.[18][21][20] Perspektif terkait berfokus pada pemahaman umum tentang kondisi manusia, membuat orang menyadari keragaman perilaku manusia di berbagai konteks—mirip dengan apa yang dapat dipelajari seseorang dengan mengunjungi negara asing.[18][21] Sejarah juga dapat menumbuhkan kohesi sosial dengan memberi orang identitas kolektif melalui masa lalu bersama, membantu melestarikan dan menumbuhkan warisan budaya dan nilai-nilai lintas generasi.[18][21][20] Bagi beberapa sarjana, termasuk sejarawan Whig dan sarjana Marxis Edward Hallett Carr, sejarah adalah kunci untuk memahami masa kini[22][23] dan, dalam kasus Carr, membentuk masa depan.[24]

Unsur-unsur sejarah

[sunting | sunting sumber]

Dalam mengungkapkan sebuah sejarah, terdapat beberapa hal yang dibutuhkan dan harus diperhatikan. Hal tersebut merupakan sebuah unsur sejarah yang akan memaknai dan melengkapi setiap deratan peristiwa sejarah.

Terdapat empat unsur dalam sejarah, yakninya :

  1. Manusia, manusia merupakan unsur yang sangat penting dalam sebuah sejarah. Hal ini dikarenakan manusia adalah obyek sejarah dan yang akan menentukan suatu peristiwa sejarah.
  2. Waktu, dalam sejarah harus ada unsur kurun waktunya. Karena kurun waktu menjadi batasan suatu peristiwa dan menunjukan manusia melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan dalam rentang waktu tertentu.
  3. Ruang, peristiwa sejarah terjadi pada suatu ruang atau tempat tertentu. Dengan mengetahui ruang dan tempat terjadinya sejarah, tentunya akan mempermudah generasi selanjutnya untuk memahami peristiwa sejarah dengan utuh dengan membayangkan latar belakangnya.
  4. Kausalitas, sejarah perlu dipaparkan berdasarkan susunan fakta yang jelas dan deksriptif. Unsur inilah yang akan merangsang rasa keingintahuan manusia terhadap peristiwa sejarah tertentu.[25]

Metodologi

[sunting | sunting sumber]

Sumber sejarah

[sunting | sunting sumber]
Sebuah sketsa dari Perpustakaan Alexandria pada masa lalu

Ahli sejarah mendapatkan informasi mengenai masa lampau dari berbagai sumber, seperti catatan yang ditulis atau dicetak, mata uang atau benda bersejarah lainnya, bangunan dan monumen, serta dari wawancara (yang sering disebut sebagai "sejarah penceritaan", atau oral history dalam bahasa Inggris). Untuk sejarah modern, sumber-sumber utama informasi sejarah adalah: foto, gambar bergerak (misalnya: film layar lebar), audio, dan rekaman video. Tidak semua sumber-sumber ini dapat digunakan untuk penelitian sejarah, karena tergantung pada periode yang hendak diteliti atau dipelajari. Penelitian sejarah juga bergantung pada historiografi, atau cara pandang sejarah, yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Ada banyak alasan mengapa orang menyimpan dan menjaga catatan sejarah, termasuk: alasan administratif (misalnya: keperluan sensus, catatan pajak, dan catatan perdagangan), alasan politis (guna memberi pujian atau kritik pada pemimpin negara, politikus, atau orang-orang penting), alasan keagamaan, kesenian, pencapaian olahraga (misalnya: rekor Olimpiade), catatan keturunan (genealogi), catatan pribadi (misalnya surat-menyurat), dan hiburan.

Namun dalam penulisan sejarah, sumber-sumber tersebut perlu dipilah-pilah. Metode ini disebut dengan kritik sumber. Kritik sumber dibagi menjadi dua macam, yaitu ekstern dan intern. Kritik ekstern adalah kritik yang pertama kali harus dilakukan oleh sejarawan saat dia menulis karyanya, terutama jika sumber sejarah tersebut berupa benda. Yakni dengan melihat validisasi bentuk fisik karya tersebut, mulai dari bentuk, warna dan apa saja yang dapat dilihat secara fisik. Sedang kritik intern adalah kritik yang dilihat dari isi sumber tersebut, apakah dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.

Wawancara juga dipakai sebagai sumber sejarah. Namun perlu pula sejarawan bertindak kritis baik dalam pemilahan narasumber sampai dengan translasi ke bentuk digital atau tulisan.

Metode kajian

[sunting | sunting sumber]

Ahli-ahli sejarah terkemuka yang membantu mengembangkan metode kajian sejarah antara lain: Leopold von Ranke, Lewis Bernstein Namier, Geoffrey Rudolf Elton, G. M. Trevelyan, dan A. J. P. Taylor. Pada tahun 1960an, para ahli sejarah mulai meninggalkan narasi sejarah yang bersifat epik nasionalistik, dan memilih menggunakan narasi kronologis yang lebih realistik.

Ahli sejarah dari Prancis memperkenalkan metode sejarah kuantitatif. Metode ini menggunakan sejumlah besar data dan informasi untuk menelusuri kehidupan orang-orang dalam sejarah.

Ahli sejarah dari Amerika, terutama mereka yang terilhami zaman gerakan hak asasi dan sipil, berusaha untuk lebih mengikutsertakan kelompok-kelompok etnis, suku, ras, serta kelompok sosial dan ekonomi dalam kajian sejarahnya.

Dalam beberapa tahun kebelakangan ini, ilmuwan posmodernisme dengan keras mempertanyakan keabsahan dan perlu tidaknya dilakukan kajian sejarah. Menurut mereka, sejarah semata-mata hanyalah interpretasi pribadi dan subjektif atas sumber-sumber sejarah yang ada. Dalam bukunya yang berjudul In Defense of History (terj: Pembelaan akan Sejarah), Richard J. Evans, seorang profesor bidang sejarah modern dari Universitas Cambridge di Inggris, membela pentingnya pengkajian sejarah untuk masyarakat.

Sejarah dan prasejarah

[sunting | sunting sumber]

Dulu, penelitian tentang sejarah terbatas pada penelitian atas catatan tertulis atau sejarah yang diceritakan. Akan tetapi, seiring dengan peningkatan jumlah akademik profesional serta pembentukan cabang ilmu pengetahuan yang baru sekitar abad ke-19 dan 20, terdapat pula informasi sejarah baru. Arkeolog, antropologi, dan cabang-cabang ilmu sosial lainnya terus memberikan informasi yang baru, serta menawarkan teori-teori baru tentang sejarah manusia. Banyak ahli sejarah yang bertanya: apakah cabang-cabang ilmu pengetahuan ini termasuk dalam ilmu sejarah, karena penelitian yang dilakukan tidak semata-mata atas catatan tertulis? Sebuah istilah baru, yaitu nirleka, dikemukakan. Istilah "prasejarah" digunakan untuk mengelompokan cabang ilmu pengetahuan yang meneliti periode sebelum ditemukannya catatan sejarah tertulis.

Pada abad ke-20, pemisahan antara sejarah dan prasejarah mempersulit penelitian. Ahli sejarah waktu itu mencoba meneliti lebih dari sekadar narasi sejarah politik yang biasa mereka gunakan. Mereka mencoba meneliti menggunakan pendekatan baru, seperti pendekatan sejarah ekonomi, sosial, dan budaya. Semuanya membutuhkan bermacam-macam sumber. Di samping itu, ahli prasejarah seperti [Vere Gordon Childe] menggunakan arkeologi untuk menjelaskan banyak kejadian-kejadian penting di tempat-tempat yang biasanya termasuk dalam lingkup sejarah (dan bukan prasejarah murni). Pemisahan seperti ini juga dikritik karena mengesampingkan beberapa peradaban, seperti yang ditemukan di Afrika Sub-Sahara dan di Amerika sebelum kedatangan Columbus.

Akhirnya, secara perlahan-lahan selama beberapa dekade belakangan ini, pemisahan antara sejarah dan prasejarah sebagian besar telah dihilangkan.

Sekarang, tidak ada yang tahu pasti kapan sejarah dimulai. Secara umum sejarah diketahui sebagai ilmu yang mempelajari apa saja yang diketahui tentang masa lalu umat manusia (walau sudah hampir tidak ada pemisahan antara sejarah dan prasejarah, ada bidang ilmu pengetahuan baru yang dikenal dengan Sejarah Besar). Kini sumber-sumber apa saja yang dapat digunakan untuk mengetahui tentang sesuatu yang terjadi pada Masa Lalu (misalnya: secara linguistik, secara genetik, dll), diterima sebagai sumber yang sah oleh kebanyakan ahli sejarah.

Bidang terkait

[sunting | sunting sumber]

Historiografi

[sunting | sunting sumber]

Historiografi adalah ilmu yang meneliti dan mengurai informasi sejarah berdasarkan sistem kepercayaan dan filsafat. Walau tentunya terdapat beberapa bias (pendapat subjektif) yang hakiki dalam semua penelitian yang bersifat historis (salah satu yang paling besar di antaranya adalah subjektivitas nasional), sejarah dapat dipelajari dari sudut pandang ideologis, misalnya: historiografi Marxisme.

Ada pula satu bentuk pengandaian sejarah (spekulasi mengenai sejarah) yang dikenal dengan sebutan "sejarah virtual" atau "sejarah kontra-faktual" (yaitu: cerita sejarah yang berlawanan—atau kontra—dengan fakta yang ada). Ada beberapa ahli sejarah yang menggunakan cara ini untuk mempelajari dan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang ada apabila suatu kejadian tidak berlangsung atau malah sebaliknya berlangsung. Hal ini mirip dengan jenis cerita fiksi sejarah alternatif.

Sejarah semu

[sunting | sunting sumber]

Sejarah semu adalah istilah yang diterapkan pada tulisan-tulisan yang dianggap bersifat historis tetapi menyimpang dari konvensi historiografis standar sehingga melemahkan kesimpulannya. Sejarah semu terkait erat dengan revisionisme sejarah. Karya-karya yang menarik kesimpulan kontroversial dari bukti-bukti sejarah baru, spekulatif, atau yang diperdebatkan, terutama di bidang nasional, politik, militer, dan religius, sering kali ditolak dan dianggap sebagai sejarah semu.

Filsafat sejarah

[sunting | sunting sumber]

Kritik atas sejarah

[sunting | sunting sumber]

Banyak orang yang mengkritik ilmu sejarah. Para pengkritik tersebut melihat sejarah sebagai sesuatu yang tidak ilmiah karena tidak memenuhi faktor-faktor keilmuan, terutama faktor "dapat dilihat atau dicoba kembali", artinya sejarah hanya dipandang sebagai pengetahuan belaka, bukan sebagai ilmu. Sebenarnya, pendapat ini kurang bisa diterima akal sehat karena sejarah mustahil dapat diulang walau bagaimanapun caranya karena sejarah hanya terjadi sekali untuk selama-lamanya. Walau mendapat tantangan sedemikian itu, ilmu sejarah terus berkembang dan menunjukkan keeksisannya dalam tataran ilmu.

Teori sejarah Marxian

[sunting | sunting sumber]

Teori marxis tentang materialisme sejarah menteorikan bahwa masyarakat pada dasarnya ditentukan oleh kondisi material pada waktu tertentu–dengan kata lain, hubungan yang dimiliki satu orang dan yang lain untuk memenuhi kebutuhan dasarnya serta keluarganya seperti makan, pakaian, tempat tinggal.[26] Secara keseluruhan, Marx dan Engels mengklaim telah mengidentifikasi lima tahap berturut-turut dari perkembangan kondisi material ini di Eropa Barat.[27] Historiografi Marxis dahulunya merupakan pandangan ortodoks di Uni Soviet, tapi sejak jatuhnya komunisme di sana pada 1991, Mikhail Krom mengatakan hal tersebut telah melemah ke batas kesarjanaan.[28]

Pendidikan

[sunting | sunting sumber]

Kesarjanaan vs pengajaran

[sunting | sunting sumber]

Pertempuran intelektual besar terjadi di Britania pada awal abad ke-20 tentang posisi pengajaran sejarah di universitas. Di Oxford dan Cambridge, kesarjanaan sejarah diabaikan. Charles Harding Firth, Profesor Regius sejarah Oxford pada 1904 mencemooh sistem ini karena paling bagus hanya menghasilkan jurnalis dangkal. Pengajar Oxford, yang memiliki suara lebih banyak dibandingkan para profesor, mempertahankannya dengan menyatakan bahwa sistem ini berhasil menghasilkan negarawan, administrator, uskup, dan diplomat Britania terkemuka. Selain itu, misi mereka sama berharganya dengan melatih para cendekiawan. Para pengajar mendominasi perdebatan itu sampai setelah Perang Dunia II. Sistem ini memaksa calon cendekiawan muda untuk mengajar di sekolah-sekolah terpencil, seperti di Universitas Manchester, di mana Thomas Frederick Tout memprofesionalkan program sarjana sejarah dengan memperkenalkan kajian sumber asli dan keharusan untuk menulis tesis.[29][30]

Di Amerika Serikat, kesarjanaan dikonsentasikan di universitas-universitas utama penghasil PhD, sementara sejumlah besar perguruan tinggi dan universitas lainnya fokus pada pengajaran sarjana (strata satu). Pada abad ke-21, kecenderungan perguruan-perguruan tersebut semakin menuntut produktivitas ilmiah dari staf pengajar mudanya. Selain itu, universitas semakin bergantung pada asisten paruh waktu yang lebih murah untuk melakukan sebagian besar pengajaran di kelas.[31]

Nasionalisme

[sunting | sunting sumber]

Sejak permulaan sistem sekolah nasional pada abad ke-19, pengajaran sejarah untuk mempromosikan sentimen nasional menjadi prioritas utama. Di Amerika Seritkat setelah Perang Dunia Pertama, sebuah gerakan kuat muncul di tingkat universitas untuk mengajarkan mata kuliah tentang Peradaban Barat, untuk memberikan mahasiswa perasaan warisan bersama dengan Eropa. Setelah 1980, perhatian di AS semakin bergerak ke arah pengajaran sejarah dunia atau mengharuskan mahasiswa untuk mengambil mata kuliah tentang budaya non-Barat, untuk mempersiapkan mereka hidup dalam ekonomi global.[32]

Di tingkat universitas, sejarawan memperdebatkan permasalahan mengenai apakah sejarah lebih merupakan ilmu sosial atau humaniora. Banyak yang memandang sejarah masuk ke keduanya. Di Indonesia, sebagian besar program ilmu sejarah dikelompokkan ke dalam fakultas humaniora.

Pengajaran sejarah di sekolah-sekolah Prancis dipengaruhi oleh Nouvelle histoire, yang disebarluaskan setelah tahun 1960 oleh Cahiers pédagogiques and Enseignement dan jurnal-jurnal lain untuk para guru. Institut national de recherche et de documentation pédagogique (INRDP), juga berpengaruh dalam pengajaran sejarah. Joseph Leif, Inspektur Jenderal pelatihan guru mengatakan murid anak-anak harus belajar mengenai pendekatan sejarawan serta mengenai fakta dan tanggal. Louis François, Dekan kelompok Sejarah/Geografi di Inspectorate of National Education menyarankan guru untuk menyediakan dokumen bersejarah dan mempromosikan "metode aktif" yang akan memberi siswa "kebahagiaan luar biasa atas penemuan". Para pendukungnya menyatakan itu adalah reaksi terhadap metode menghafal nama dan tanggal yang dikaitkan dengan pengajaran sejarah, sehingga membuat siswa bosan. Kelompok tradisionalis memprotes keras karena itu adalah inovasi postmodern yang dapat menjadikan siswa menjadi abai terhadap patriotisme Prancis dan identitas nasional.[33]

Bias di pengajaran sekolah

[sunting | sunting sumber]
Buku sejarah di toko buku

Di beberapa negara, buku pelajaran sejarah adalah alat untuk menumbuhkan nasionalisme dan patriotisme, serta memberi siswa pandangan resmi mengenai musuh nasional.[34]

Di banyak negara, buku pelajaran sejarah disponsori oleh pemerintah nasional dan ditulis dengan memprioritaskan warisan nasional. Misalnya di Jepang, kutipan mengenai Pembantaian Nanking telah dihapus dari buku pelajaran, serta topik keseluruhan Perang Dunia Kedua hanya dibahas sepintas. Hal ini mendapat protes dari negara lainnya.[35] Hal ini juga menjadi kebijakan standar di negara komunis untuk hanya menyajikan historiografi Marxis yang kaku.[36][37]

Di Amerika Serikat, sejarah Amerika Serikat Selatan, perbudakan, dan Perang Saudara Amerika adalah topik kontroversial. McGraw-Hill Education misalnya, dikritik karena buku pelajarannya menjelaskan orang Afrika yang dibawa ke perkebunan Amerika sebagai "pekerja", bukannya budak seperti yang sebenarnya.[38]

Sejarawan akademis sering berperang melawan politisasi buku pelajaran, dan terkadang berhasil.[39][40]

Di Jerman abad ke-21, kurikulum sejarah dikendalikan oleh masing-masing 16 negara bagian. Serta ditandai bukan oleh superpatriotisme, melainkan oleh "nada yang hampir pasifistik dan sengaja tidak patriotik" dan mencerminkan "prinsip-prinsip yang dirumuskan oleh organisasi internasional seperti UNESCO dan Dewan Eropa, sehingga berorientasi pada hak asasi manusia, demokrasi dan perdamaian." Hasilnya, "buku pelajaran di Jerman biasanya menurunkan kebanggaan dan ambisi nasional, serta bertujuan untuk mengembangkan pemahaman kewarganegaraan yang berpusat pada demokrasi, progres, hak asasi manusia, perdamaian, toleransi, dan Keeropaan."[41]

Bidang studi

[sunting | sunting sumber]

Bidang kajian ilmu sejarah meliputi berbagai cabang. Beberapa cabang berfokus pada periode waktu tertentu, sedangkan cabang lain berfokus pada kawasan terentu dan tema tertentu. Spesialisasi kajian sangat mungkin bergabung seperti kajian ekonomi pada sejarah Indonesia meliputi aspek periode waktu, kawasan tertentu, dan tema tertentu. Untuk bidang dengan cakupan yang luas, jumlah sumber primer mungkin sangat besar untuk dikaji oleh peneliti individu sehingga membuat peneliti tersebut mengecilkan cakupan atau mengandalkan sumber sekunder.[18][42][43][44]

Ada banyak cara untuk memilah informasi dalam sejarah, antara lain:

  • Berdasarkan kurun waktu (kronologis).
  • Berdasarkan wilayah (geografis).
  • Berdasarkan negara (nasional).
  • Berdasarkan kelompok suku bangsa (etnis).
  • Berdasarkan topik atau pokok bahasan (topikal).

Dalam pemilahan tersebut, harus diperhatikan bagaimana cara penulisannya seperti melihat batasan-batasan temporal dan spasial tema itu sendiri. Jika hal tersebut tidak dijelaskan, maka sejarawan mungkin akan terjebak ke dalam falsafah ilmu lain, misalnya sosiologi. Inilah sebabnya Immanuel Kant yang disebut-sebut sebagai Bapak Sosiologi mengejek sejarah sebagai "penata batu-bata" dari fakta-fakta sosiologis.[45]

Periode waktu

[sunting | sunting sumber]

Pembagian berdasarkan kronologi merupakan pendekatan umum untuk mengorganisasikan bentangan sejarah yang luas ke dalam segmen-segmen yang lebih mudah. Periode yang berbeda sering kali didefinisikan berdasarkan tema dominan yang mencirikan kerangka waktu tertentu dan peristiwa penting yang memulai perkembangan ini atau mengakhirinya. Suatu periode mungkin sesingkat satu dekade atau lebih lama dari beberapa abad bergantung pada konteks dan tingkat detail yang dipilih.[43][46][47]

Ahli sejarah juga sangat mungkin membatasi diri sesuai dengan tema tertentu.[18][43][48][49]

Ilmu bantu sejarah

[sunting | sunting sumber]

Berikut ini adalah ilmu-ilmu bantu sejarah.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Some authors restrict the term history to the factual series of past events and use the term historiography for the study of those events. Others use the term history for the study and representation of the past. They characterize historiography as a metatheory studying the methods and historical development of this academic discipline.[5]
  2. ^ Some theorists identify protohistory as a distinct period after prehistory that spans from the invention of writing to the first attempts to record history.[6]
  3. ^ Big History, formulated by the historian David Christian in the late 1980s, reaches back even further to the Big Bang, covering the cosmological development of the universe and the biological evolution of life in addition to human history.[9]
  1. ^
  2. ^
  3. ^
  4. ^
  5. ^
  6. ^ Kipfer 2000, hlm. 457–458
  7. ^
  8. ^
  9. ^ Hesketh 2023, hlm. 1–4, 41
  10. ^
  11. ^
  12. ^
  13. ^ Whitney, W. D. The Century dictionary; an encyclopedic lexicon of the English language. New York: The Century Co, 1889.
  14. ^ Joseph, Brian D.; Janda, Richard D. (2008). The Handbook of Historical Linguistics. Blackwell Handbooks in Linguistics. Hoboken: Wiley. ISBN 978-0-470-75633-1.
  15. ^ Hoad, T. F., ed. (2003). The Concise Oxford dictionary of English etymology. Oxford reference online premium (Edisi Reiss). Oxford New York: Oxford Univ. Press. ISBN 978-0-19-283098-2.
  16. ^ Cresswell, Julia, ed. (2021). Oxford dictionary of word origins. Oxford quick reference (Edisi Third edition). Oxford, United Kingdom ; New York, NY: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-886875-0. OCLC 1259535508.
  17. ^ Berkhofer, Robert F. (2022). Forgeries and historical writing in England, France, and Flanders, 900-1200. Medieval documentary cultures. Woodbridge: The Boydell Press. ISBN 978-1-78327-691-2.
  18. ^ a b c d e f g Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :1
  19. ^ Ferrater-Mora, José. Diccionario de Filosofia. Barcelona: Editorial Ariel, 1994.
  20. ^ a b c Southgate, Beverley C., ed. (2005). What is history for?. London New York: Routledge. ISBN 978-0-415-35098-3.
  21. ^ a b c Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :5
  22. ^ Jenkins, Keith (1995). On "what is history?": from Carr and Elton to Rorty and White. London ; New York: Routledge. ISBN 978-0-415-09724-6.
  23. ^ Haviland, Beverly (2009). Henry James's last romance: making sense of the past and the American scene. Cambridge studies in American literature and culture (Edisi Digitally printed version, paperback re-issue). Cambridge: Cambridge Univ. Press. ISBN 978-0-521-56338-3.
  24. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama evans1
  25. ^ "Pengertian Sejarah, Unsur, dan Manfaat Mempelajarinya Page All". www.orami.co.id. 2023-10-12. Diakses tanggal 2024-03-11.
  26. ^ See, in particular, Marx and Engels, The German Ideology
  27. ^ Marx makes no claim to have produced a master key to history. Historical materialism is not "an historico-philosophic theory of the marche generale imposed by fate upon every people, whatever the historic circumstances in which it finds itself" (Marx, Karl: Letter to editor of the Russian paper Otetchestvennye Zapiskym, 1877). His ideas, he explains, are based on a concrete study of the actual conditions that pertained in Europe.
  28. ^ Mikhail M. Krom, "From the Center to the Margin: the Fate of Marxism in Contemporary Russian Historiography," Storia della Storiografia (2012) Issue 62, pp. 121–130
  29. ^ Ivan Roots, "Firth, Sir Charles Harding (1857–1936)", Oxford Dictionary of National Biography (Oxford University Press, 2004) Online; accessed 10 Nov 2014
  30. ^ Reba Soffer, "Nation, duty, character and confidence: history at Oxford, 1850–1914." Historical Journal (1987) 30#01 pp. 77–104.
  31. ^ Frank Donoghue, The Last Professors: The Corporate University and the Fate of the Humanities (2008)
  32. ^ Jacqueline Swansinger, "Preparing Student Teachers for a World History Curriculum in New York," History Teacher, (November 2009), 43#1 pp. 87–96
  33. ^ Abby Waldman, " The Politics of History Teaching in England and France during the 1980s," History Workshop Journal Issue 68, Autumn 2009 pp. 199–221 online
  34. ^ Jason Nicholls, ed. School History Textbooks across Cultures: International Debates and Perspectives (2006)
  35. ^ Claudia Schneider, "The Japanese History Textbook Controversy in East Asian Perspective," Annals of the American Academy of Political and Social Science, May 2008, Vol. 617, pp. 107–122
  36. ^ "Problems of Teaching Contemporary Russian History," Russian Studies in History, Winter 2004, Vol. 43 Issue 3, pp. 61–62
  37. ^ Wedgwood Benn, David (2008). "Blackwell-Synergy.com". International Affairs. 84 (2): 365–370. doi:10.1111/j.1468-2346.2008.00708.x. ISSN 0020-5850.
  38. ^ Fernandez, Manny; Hauser, Christine (5 October 2015). "Texas Mother Teaches Textbook Company a Lesson on Accuracy". The New York Times. Diakses tanggal 14 July 2018.
  39. ^ "Teaching History in Schools: the Politics of Textbooks in India," History Workshop Journal, April 2009, Issue 67, pp. 99–110
  40. ^ Tatyana Volodina, "Teaching History in Russia After the Collapse of the USSR," History Teacher, February 2005, Vol. 38 Issue 2, pp. 179–188
  41. ^ Simone Lässig and Karl Heinrich Pohl, "History Textbooks and Historical Scholarship in Germany," History Workshop Journal Issue 67, Spring 2009 pp. 128–129 online at project MUSE
  42. ^ Lemon, M. C. (1995). The discipline of history and the history of thought. London ; New York: Routledge. ISBN 978-0-415-12346-4.
  43. ^ a b c Jordanova, L. J. (2000). History in practice. London : New York: Arnold ; Oxford University Press. ISBN 978-0-340-66331-8. OCLC 43674690.
  44. ^ Veysey, Laurence (1979-03). "The "New" Social History in the Context of American Historical Writing". Reviews in American History. 7 (1): 1. doi:10.2307/2700953.
  45. ^ Liputan6.com (2023-06-01). "Jelaskan Pengertian Sejarah, Fungsi, dan Klasifikasinya, Berikut Pendapat Ahli". liputan6.com. Diakses tanggal 2024-03-11. Pemeliharaan CS1: Nama numerik: authors list (link)
  46. ^ Writing history! a companion for historians. Amsterdam: Amsterdam University Press. 2018. ISBN 978-94-6298-639-8.
  47. ^ Christian, David (2008). This fleeting world: a short history of humanity. Great Barrington, Mass: Berkshire. ISBN 978-1-933782-04-1.
  48. ^ Yurdusev, A. (2003). International Relations and the Philosophy of History: A Civilizational Approach (Edisi 1st ed. 2003). London: Palgrave Macmillan UK. ISBN 978-1-4039-3840-4.
  49. ^ Gardiner, Juliet (1988). Gardiner, Juliet (ed.). Introduction (dalam bahasa Inggris). London: Macmillan Education UK. hlm. 1–3. doi:10.1007/978-1-349-19161-1_1. ISBN 978-0-333-42226-7.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]