Serayo

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Serayo atau nyanyo adalah sistem gotong royong dalam masyarakat suku Kerinci yang berada di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Sistem ini juga sering disebut baselang atau berselang. Pada prinsipnya, serayo merupakan gotong royong yang menguntungkan individu atau memenuhi kepentingan seseorang yang meminta bantuan untuk mengerjakan sesuatu. Adapun permintaan tersebut dilakukan oleh salah satu pihak kepada kaum kerabat terdekatnya, para tetangga yang berada di dekat rumahnya, maupun warga sekampung (kelurahan ataupun dusun). Orang yang dimintai pertolongan akan memberikan bantuan sesuai dengan permintaan pihak yang memerlukan bantuan. Dalam sistem serayo terlihat adanya unsur kerja sama dalam mengerjakan sesuatu yang dipimpin oleh orang yang meminta pertolongan. Orang yang diminta biasanya tidak menolak dan dapat diperkirakan warga akan "membalas" kebaikan sebelumnya.

Etimologi

Istilah serayo atau nyanyo lebih dekat kepada pengucapan yang dipengaruhi oleh bahasa Minang,[1][2] sedangkan istilah baselang atau berselang lebih dekat pengucapannya kepada bahasa Melayu.[3] Serayo atau nyanyo berarti "menyampaikan maksud yang akan dikerjakan", sedangkan baselang atau berselang berarti "kerja sama dalam bidang mata pencaharian hidup".[4] Menurut Novendra, serayo berwujud pengerahan tenaga kerja tanpa adanya unsur pamrih seperti halnya kegiatan gotong royong.[a] Kegiatan ini lebih menjurus kepada kerja sama yang menguntungkan individu atau memenuhi kepentingan seseorang yang meminta bantuan untuk mengerjakan sesuatu.[5] Lawan dari kegiatan serayo adalah gawe karepat, yaitu gotong royong untuk menyelesaikan kepentingan umum (seperti membuat jalan desa, memperbaiki jembatan, membersihkan saluran irigasi, dan sebagainya). Untuk membedakannya dengan serayo, masyarakat suku Kerinci cukup menyebutnya dengan istilah gotong royong atau kerja bakti saja.[6]

Latar belakang

Gunung Kerinci.

Suku Kerinci adalah suku asli yang mendiami wilayah Dataran Tinggi Kerinci yang berada di Jambi.[7][8] Sebagai salah satu suku yang dikenal dekat dengan alam, suku Kerinci banyak melahirkan beragam peninggalan kebudayaan dan kearifan lokal yang kaya akan nilai budaya.[9] Beragam benda budaya yang dapat ditemukan di berbagai pelosok alam Kerinci antara lain batu megalit, punden berundak, menhir, dan berbagai artefak lainnya, termasuk prasasti Kerinci (lebih dikenal dengan nama Tambo Kerinci)[b][10] yang ditulis di daun lontar, tanduk, dan ruas bambu yang berumur ribuan tahun.[11] Adapun "Kerinci" adalah nama awal sebuah gunung serta danau dan wilayah yang berada di sekitarnya disebut dengan nama yang sama. Dengan demikian, daerahnya disebut dengan Kerinci (Kurinchai, Kunchai, atau Kinchai dalam logat asli), sedangkan penduduknya disebut dengan orang Kerinci atau suku Kerinci. Pada masa lalu, lembah Kerinci telah dihuni oleh penduduk pribumi yang disebut sebagai kecik wok gedang wok.[12]

Asal-usul

Wanita dan anak-anak desa suku Kerinci pada masa Hindia-Belanda.

Tidak diketahui secara pasti mengenai awal-mula dilakukannya kegiatan serayo oleh masyarakat suku Kerinci. Faktor yang membuat munculnya sistem serayo (terutama dalam bidang pertanian) adalah adanya kepemilikan tanah pertanian, baik milik sendiri maupun milik kerabat (tanah pusaka) atau milik adat (tanah adat).[13] Mereka yang memiliki lahan pertanian luas akan membutuhkan bantuan dari orang lain untuk mengolah dan merawat lahannya, sedangkan mereka yang tidak memiliki lahan pertanian biasanya akan menumpang tanam atau mengerjakan lahan pertanian dari pemilik lahan dengan sistem bagi hasil. Selain itu, kegiatan serayo juga tumbuh karena adanya kesadaran dalam kelompok masyarakat kecil, seperti halnya kegiatan gotong royong lain di daerah perdesaan.[14]

Sejak zaman dahulu, masyarakat suku Kerinci mengerjakan sawah maupun terlibat dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dilakukan secara gotong royong tanpa memberikan upah kepada orang yang telah membantunya. Imbalan yang diterima hanya berupa makanan dan minuman yang disantap bersama dan disediakan oleh pihak yang meminta bantuan.[15] Pada waktu yang lain, ketika pihak yang memberikan bantuan memerlukan pertolongan, pihak yang telah menerima bantuan memiliki kewajiban untuk membalas jasa pihak yang telah membantunya.[16]

Kegiatan serayo dalam bidang mata pencaharian hidup hanya dilakukan untuk mengolah lahan pertanian dan perkebunan, seperti menanam padi di sawah dan membersihkan ladang atau kebun. Dalam bidang peternakan hanya dikenal sistem penggembalaan ternak yang dilakukan dengan bagi hasil antara pemilik ternak dengan orang yang memeliharanya.[17] Adapun kegiatan serayo dalam bidang mata pencaharian hidup lain adalah membuka hutan untuk dijadikan sebagai kebun atau ladang. Upaya tersebut dapat memupuk sifat gotong royong karena dalam kegiatan ini para pelakunya akan saling membantu dan secara bergiliran mengerjakan bagian masing-masing.[18]

Bentuk

Serayo merupakan ajakan dari seseorang untuk bergotong royong menyelesaikan pekerjaan tanpa upah. Kegiatan serayo mencakup berbagai bidang, seperti pertanian, peternakan, pembangunan rumah, dan upacara adat. Sistem dalam serayo tidak mengenal adanya pembagian tingkatan kerja berdasarkan keahlian. Hal ini disebabkan karena serayo sudah berulang kali dilaksanakan dalam masyarakat. Keahlian akan dipilah-pilah ketika dilaksanakan gotong royong dalam mendirikan rumah dan upacara adat.[19] Pembagian kerja dalam aktivitas membuat rumah memang diperlukan mengingat rumah dibuat sebagai tempat berlindung dalam jangka waktu yang lama, sedangkan pembagian kerja dalam gotong royong upacara keagamaan sangat diperlukan karena tidak semua masyarakat suku Kerinci benar-benar paham dengan adat. Serayo dalam upacara adat biasanya dipimpin oleh sko depati (pemimpin adat tertinggi)[c] dan sko ninik mamak (pemimpin dalam kekerabatan).[d][20] Adapun upacara adat tersebut antara lain upacara lingkaran hidup (kehamilan, kelahiran, pernikahan, dan kematian), upacara membuka tanah, dan upacara mendirikan rumah.[21]

Pemberitahuan serayo pada masa lampau dilakukan dengan cara memukul canang (gong kecil) mengelilingi kampung, tetapi ada juga yang mengunjungi rumah orang-orang yang hendak dimintai pertolongan sambil membawa sirih pinang untuk dicicipi kaum kerabat atau tetangga dekat yang didatangi. Apabila dirasa sudah cukup banyak orang yang didatangi, si pembawa sirih pinang akan kembali ke rumahnya karena dia menginginkan bantuan tenaga dari orang yang dikunjungi saja.[22][23]

Kegiatan serayo dibagi menjadi dua berdasarkan jumlah orang yang berpartisipasi di dalamnya. Kegiatan gotong royong serayo berskala kecil atau kelompok kecil disebut dengan mbobo, yaitu hanya diikuti oleh 5–10 orang. Adapun kegiatan gotong royong serayo berskala besar disebut dengan andin, yaitu diikuti oleh lebih dari 10 orang. Serayo berskala besar biasanya ditujukan untuk membuka ladang. Gotong royong serayo dalam kelompok kecil atau mbobo biasanya diikuti oleh sko tigo takah (tiga perangkat pemimpin informal). Kelompok kecil dari sko tigo takah ini antara lain sko depati (pemimpin adat tertinggi), sko ninik mamak (pemimpin dalam kekerabatan), serta sko anak jantan atau tengganai dan sko anak betino atau semenda (laki-laki dan perempuan dewasa). Serayo dalam ruang lingkup ini hanya diikuti oleh orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan satu sama lain. Biasanya, serayo ini dilakukan erat kaitannya dengan pengolahan tanah pusaka.[24]

Sistem serayo telah melembaga dalam kehidupan masyarakat Kerinci dan mereka memiliki kewajiban untuk memenuhinya sebagai kewajiban sosial. Kerabat dekat maupun tetangga yang menerima permintaan serayo biasanya tidak mungkin menolak.[25] Hal ini disebabkan karena seseorang yang mau memberikan bantuannya berharap apa yang dilakukannya nanti akan mendapatkan balasan dari orang yang telah dibantunya. Mereka harus membalas budi bantuan yang telah diberikan suatu saat nanti.[26] Masalah dalam kegiatan serayo muncul ketika masyarakat yang tidak pernah aktif dalam kegiatan ini tidak akan ditolong apabila mempunyai maksud mengerjakan sesuatu. Hal ini disebabkan karena yang bersangkutan tidak pernah memberikan jasanya.[14][27]

Ketentuan

Ketentuan yang selama ini berlaku dalam sistem serayo bukanlah berdasarkan perjanjian perdata. Tidak ada ketentuan formal dalam serayo karena sistem ini telah menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan pada masa lampau oleh nenek moyang suku Kerinci, seperti layaknya sistem gotong royong di daerah lain yang berada di Indonesia. Serayo dilaksanakan dari awal sampai selesai, biasanya dimulai sejak pagi hari sampai dengan sore hari. Apabila pada siang hari aktivitas serayo belum selesai, mereka akan kembali ke rumah untuk melaksanakan ibadah salat zuhur atau makan siang bersama di sekitar tempat gotong royong tersebut dilaksanakan.[28]

Makanan dan minuman yang disediakan dalam serayo dalam bahasa setempat dinamakan dengan minum kwo. Minum kwo sudah menjadi kelaziman untuk disediakan mengingat yang melakukan serayo tentu akan haus dan lapar. Apabila minum kwo ini tidak disediakan, orang yang meminta tolong dianggap sebagai orang yang pelit. Keluarga yang pelit biasanya tidak banyak yang mau membantu, meskipun itu kaum kerabatnya sendiri. Bagi orang-orang yang jarang atau tidak pernah mengikuti serayo, konsekuensinya mereka tidak akan ditolong ketika meminta bantuan. Seseorang baru mau membantu jika diberi imbalan berupa uang atau padi sebanyak yang telah disepakati.[29]

Hasil

Kegiatan serayo dapat mengurangi beban kerja individu dalam masyarakat Kerinci. Kegiatan mengolah sawah, mendirikan rumah, menggembalakan ternak, ataupun melaksanakan upacara keagamaan sulit untuk dilakukan sendiri. Untuk memudahkan pekerjaan tersebut, diperlukan bantuan tenaga orang lain. Cara termudah dan murah adalah dengan melakukan kegiatan serayo bersama-sama keluarga dekat maupun tetangga.[30] Berdasarkan segi non-material, kegiatan serayo mempererat hubungan kekeluargaan antar warga sebuah desa. Menurut Marbakri, sistem serayo akhirnya melahirkan suatu kesadaran sebagai hasil dari pergaulan sosial mereka di lingkungan sekitarnya. Hal ini disebabkan karena unsur utama dari serayo adalah gotong royong atau kerja sama guna mewujudkan keteraturan sosial dalam masyarakat karena mereka akan merasa bahwa pekerjaan tersebut adalah tanggung jawab bersama.[31] Melalui serayo, aktivitas ini menjadi salah satu unsur persatuan dan kesatuan di antara sesama masyarakat suku Kerinci.[32]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Gotong royong merupakan salah satu ciri khas aktivitas masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat desa. Banyak kegiatan dalam masyarakat desa yang sering diidentifikasi sebagai kegiatan gotong royong. Kegiatan ini dapat terwujud dalam bentuk yang spontan, dilandasi pamrih, atau dikarenakan memenuhi kebutuhan sosial. Bentuk tersebut beraneka ragam sesuai dengan bidang dan kegiatan sosial yang sedang dilakukan (Novendra 2010, hlm. 1–3).
  2. ^ Menurut Tambo Kerinci, orang Kerinci berasal dari Sultan Zulkarnain yang mempunyai tiga orang putra, yaitu Sultan Maharajo Alip, Sultan Maharajo Ipon, dan Sultan Maharajo Bungsu. Adapun Sultan Maharajo Bungsu mempunyai tujuh orang putra, yang salah seorang di antaranya bernama Sultan Bagindo Tuo yang berkuasa di daerah Jambi dengan wilayah kekuasaan meliputi daerah Batanghari, Kerinci Tinggi, dan Kerinci Rendah (Novendra 2010, hlm. 22).
  3. ^ Proses pengangkatan sko depati dilakukan berdasarkan musyawarah dari anggota masyarakat. Pengangkatan ketua adat ini disebut dengan kenduri sko. Sko depati memiliki pusaka depati, misalnya memerintahkan gotong royong kepada seluruh ninik mamak maupun anak jantan dan anak betino (Subiyantoro, dkk 2017, hlm. 134).
  4. ^ Sko ninik mamak juga disebut dengan sengajo tuo kinantan lidah. Sko ninik mamak mempunyai pusaka gelar rio sri, singajo, dan ria gemang (Subiyantoro, dkk 2017, hlm. 134).

Rujukan

  1. ^ Rusmali, dkk (1985), hlm. 259: "Tolong: – urang mangarajoannyo, tolongan orang mengerjakannya".
  2. ^ Ardi (2018), hlm. 105: "At TL1 the translators choose to use the Minangkabaunese in its original form to introduce and remind the social culture of sarayo or manyarayo in Minangkabau culture (...)"
  3. ^ Arman, Dedi (18 Juli 2017). "Bahas Goro di Kerinci dan Sejarah Bendungan Pice". Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 5 April 2020. 
  4. ^ Subiyantoro, dkk (2017), hlm. 122: "Aktivitas gotong royong tolong-menolong di daerah penelitian ini disebut dengan serayo atau nyanyo. Ada juga yang menyebut dengan sebutan baselang atau berselang. Serayo/nyanyo (Minang): menyampaikan maksud yang akan dikerjakan. Baselang/berselang (Melayu): kerja bersama dalam bidang mata pencaharian hidup".
  5. ^ Novendra (2010), hlm. 75: "(...) Kegiatan gotong royong serayo merupakan aktivitas atau kegiatan kerja bersama antara warga masyarakat untuk tujuan menyelesaikan suatu proyek tertentu yang berguna bagi kepentingan individu yang meminta bantuan".
  6. ^ Novendra (2010), hlm. 75–76: "(...) Kegiatan gotong royong masyarakat di daerah penelitian disebut dengan istilah gawe karepat. Kegiatan gotong royong kerja bakti merupakan aktivitas atau kegiatan kerja bersama antara warga masyarakat untuk tujuan menyelesaikan suatu proyek tertentu yang berguna bagi kepentingan umum atau masyarakat".
  7. ^ Harsono (1994), hlm. 2–3: "(...) Suku Kerinci umumnya mendiami wilayah Kabupaten Kerinci, Kota Sungai Penuh, dan sebagian wilayah Merangin di Dataran Tinggi Jambi saat ini".
  8. ^ Ramadani & Qommaneeci 2018, hlm. 74: "Suku Kerinci adalah suku asli di Provinsi Jambi (...)"
  9. ^ Jaringan Kota Pusaka Indonesia (12 September 2013). "Upacara Adat dan Kesenian Tradisional Suku Kerinci". Jaringan Kota Pusaka Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-29. Diakses tanggal 29 Maret 2019. 
  10. ^ Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat (26 Februari 2017). "Tambo Sakti Alam Kerinci". Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat. Diakses tanggal 29 Maret 2019. 
  11. ^ Jaringan Kota Pusaka Indonesia (7 Mei 2014). "Peninggalan Budaya Suku Kerinci". Jaringan Kota Pusaka Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-29. Diakses tanggal 29 Maret 2019. 
  12. ^ Novendra (2010), hlm. 20–21: "Sementara itu sumber lain menyatakan nama Kerinci mungkin berasal dari bahasa Tamil Kurinci yang berarti: "tanah berbukit-bukit". Di daerah Kerinci banyak ditemukan batu-batuan megalitik dari zaman perunggu dengan pengaruh Budha termasuk keramik China. Hal ini menunjukkan wilayah ini telah banyak berhubungan dengan dunia luar. Awalnya Kerinci adalah nama sebuah gunung dan danau (tasik), tetapi kemudian wilayah yang berada di sekitarnya disebut dengan nama yang sama. Dengan begitu daerahnya disebut sebagai Kerinci (Kurinchai atau Kunchai atau Kinchai dalam logat asli), dan penduduknya disebut orang Kerinci. Lembah Kerinci telah dihuni manusia setidaknya sejak 6000 tahun yang lalu bernama Kecik Wok Gedang Wok".
  13. ^ Subiyantoro, dkk (2017), hlm. 123–124: "Faktor permintaan serayo pada masa lalu di daerah penelitian (Jambi) dapat dilihat dari adanya kepemilikan tanah pertanian pusaka dan adat, khususnya pengolahan padi di tanah tersebut. Namun yang pasti bahwa kegiatan gotong royong tolong-menolong mengerjakan sawah ini sampai saat ini masih dilakukan mengingat besarnya manfaat yang diperoleh".
  14. ^ a b Novendra (2010), hlm. 44: "Sejak dahulu, masyarakat di Desa Simpang Tiga Rawang mengerjakan sawah secara gotong royong tanpa memberikan upah kepada orang yang telah membantu. Bagi warga masyarakat yang kurang aktif bahkan tidak pernah aktif dalam kegiatan gotong royong, maka orang tersebut apabila mempunyai hajat maupun maksud dan tujuan mengerjakan sesuatu, tidak akan ditolong karena yang bersangkutan tidak pernah memberikan jasanya dalam kegiatan gotong royong yang dilaksanakan secara bersama-sama. (...) Warga yang mempunyai lahan sawah luas pastinya perlu bantuan mengolahnya. Dan bagi yang tidak memiliki tanah pertanian, biasanya akan numpang tanam".
  15. ^ Wahyuningsih & Abu (1986/1987), hlm. 164–165: "(...) Upah serayo masih ada, tetapi terbatas di kalangan suku atau keluarga dekat saja, yaitu makanan dan minuman yang disantap bersama".
  16. ^ Novendra (2010), hlm. 44–45: "(...) Tidak ada imbalan yang diterima dalam kegiatan ini, yang ada hanyalah minum kwo yang dimakan bersama-sama. Kesadaran yang timbul dalam serayo membuat pihak yang diberikan bantuan akan melakukan timbal-balik kepada orang-orang yang membantunya".
  17. ^ Novendra (2010), hlm. 45: "Dalam bidang mata pencahariaan hidup, gotong royong serayo dilakukan untuk mengolah lahan sawah pertanian dan perkebunan bilamana seseorang memiliki sawah atau kebun. Para tetangga maupun kerabat dimintai bantuan untuk membersihkan ladang atau kebun secara bersama-sama".
  18. ^ Subiyantoro, dkk (2017), hlm. 132: "Bentuk serayo lain dalam bidang mata pencaharian hidup tampak jelas ketika membuka rimba atau hutan sebagai kebun atau ladang bercocok tanam. Membuka lahan pertanian untuk usaha kebun atau lahan dilakukan bersama-sama tetangga maupun kaum kerabat, karena dalam kegiatan membuka hutan biasanya saling bantu-membantu dan secara bergiliran mengerjakan bagian masing-masing".
  19. ^ Subiyantoro, dkk (2017), hlm. 130: "Dalam sistem serayo tidak mengenal adanya pembagian tingkat kerja berdasarkan keahlian dan keterampilan. Pembagian tersebut baru ada ketika dilaksanakan serayo dalam mendirikan rumah atau upacara keagamaan (...)"
  20. ^ Subiyantoro, dkk (2017), hlm. 133–134: "Seperti sudah disinggung sebelumnya, gotong royong masyarakat di daerah penelitian diketuai oleh salah seorang dari kaum kerabat yang dituakan, umpamanya depati (pimpinan adat tertinggi) atau ninik mamak (ketua pemimpin kekerabatan). Penghormatan terhadap kaum kerabat yang dituakan dalam masyarakat Kerinci sampai saat ini masih kuat, di samping sikap hormat mereka terhadap pemimpin pemerintahan".
  21. ^ Novendra (2010), hlm. 68–69: "Kegiatan gotong royong tolong-menolong dalam bidang religi dan kepercayaan yang dilakukan oleh anggota masyarakat di daerah penelitian antara lain; upacara dalam lingkaran hidup atau daur hidup (life cycle), seperti: kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan pernikahan (...)"
  22. ^ Novendra (2010), hlm. 41–42: "Pada masa lalu, masyarakat Kerinci melakukan pemberitahuan serayo dengan cara memukul canang (gong kecil) keliling kampung. Ada juga pemberitahuan dengan mengunjungi tiap rumah orang-orang terdekatnya sambil membawa sirih pinang (...)"
  23. ^ Warisan Budaya Takbenda Indonesia (1 Januari 2011). "Gawe Karepat". Warisan Budaya Takbenda Indonesia, Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. Diakses tanggal 5 April 2020. 
  24. ^ Novendra (2010), hlm. 42–43: "Serayo berskala kecil disebut dengan mbobo, sedangkan serayo berskala besar disebut dengan andin. Serayo mbabo biasanya diikuti oleh sko tigo takah. Kelompok kecil dari sko tigo takah ini antara lain: sko depati, sko ninik mamak, dan sko anak jantan atau sko anak betino (...)"
  25. ^ Warisan Budaya Takbenda Indonesia (tanpa tanggal). "Baselang". Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Diakses tanggal 22 Oktober 2021. 
  26. ^ Marbakri, dkk (1983), hlm. 26: “Kegiatan serayo ataupun gotong royong lain menimbulkan sifat kewajiban timbal balik di antara orang yang hidup di dalam masyarakat. Adanya sistem tolong-menolong menimbulkan rasa yang dimiliki mereka bahwa dalam kenyataan hidup sehari-hari saling membutuhkan satu sama lain sebagai keseluruhan hidup dalam masyarakat (...)"
  27. ^ Rohman, Fandy Aprianto (16 Mei 2020). "Serayo". Perpustakaan Digital Budaya Indonesia. Diakses tanggal 31 Mei 2020. 
  28. ^ Subiyantoro, dkk (2017), hlm. 128: "Ketentuan dalam serayo tidak berdasarkan hitam di atas putih, asalkan pekerjaan yang dilaksanakan dapat segera terselesaikan. Ketentuan ini sudah ada sejak dahulu, karena kebiasaan yang dilakukan pada masa laliu oleh nenek moyang mereka bersama-sama, maka ketentuan yang telah melembaga ini sampai saat ini masih diikuti, bahkan dilestarikan. Jadi ketentuan gotong royong tolong-menolong dalam bidang mata pencaharian hidup diikuti oleh kaum kerabat atau tetangga terdekat. Ketentuan yang berlaku selama ini adalah pekerjaan gotong royong tolong-menolong dilaksanakan dari awal sampai selesai (...)"
  29. ^ Subiyantoro, dkk (2017), hlm. 128–129: "Makanan dan minuman yang disediakan untuk gotong royong serayo bidang pertanian adalah makanan dan minuman ringan. Makanan dan minuman yang disajikan ketika bekerja di sawah ini dalam bahasa setempat dinamakan dengan minum kwo. Hal ini perlu disediakan dan lazim. Kalau tak disediakan, dianggap kikir atau pelit (...)"
  30. ^ Novendra (2010), hlm. 55–56: "Kegiatan serayo begitu bermanfaat karena meringankan beban kerja karena tidak mungkin rasanya semua pekerjaan dapat dilakukan sendiri tanpa bantuan dari orang lain (...)"
  31. ^ Marbakri, dkk (1983), hlm. 62: “Serayo atau gotong royong adalah bentuk kerja sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan asas timbal balik (resiprositas) guna mewujudkan keteraturan sosial dalam masyarakat....."
  32. ^ Novendra (2010), hlm. 56: "Serayo bermanfaat untuk mempererat tali silaturahmi maupun hubungan kekeluargaan di antara sesama peserta. Aktivitas ini menjadi salah satu unsur dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan (...)"

Daftar pustaka

Buku

  • Harsono, Dibyo (1994). Pola Permukiman Masyarakat Kubu. Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang. 
  • Marbakri, dkk (1983). Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Perdesaan Daerah Riau. Pekanbaru: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  • Novendra (2010). Sistem Gotong Royong Suku Bangsa Kerinci (Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi). Tanjungpinang: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang. 
  • Rusmali, Marah, dkk (1985). Kamus Minangkabau–Indonesia (PDF). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  • Subiyantoro, dkk (2017). "Sistem Gotong Royong dalam Mengerjakan Sawah Suku Bangsa Kerinci di Provinsi Jambi". Makalah Seminar Nasional Hasil Penelitian BPNB se-Indonesia.  Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta.
  • Wahyuningsih; Abu, Rivai (1986/1987). Arsitektur Tradisional Daerah Riau. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. 

Jurnal

Pranala luar